Rabu, 27 Januari 2010

Sedetik Ku Mengenalmu...(Bagian 2)

Setelah percakapan yang tidak lama itu, Ivan kembali mengerjakan pekerjaannya yang diseling oleh chatting tadi.

“Van….kesini lo!!!!!”, tiba-tiba suara keras itu memanggil Ivan yang sedang asyik menulis. Biasanya jika redaktur Ivan sudah teriak pasti ada masalah, entah itu tulisan yang kacau atau janji wawancara yang masih menggantung.

“Ya mas!!!” jawab Ivan sambil secepatnya jalan ke ruangan redaktur.

“Lo dah bikin janjian belom sama narasumber, sekarang dah hari kamis minggu kedua” tanya redaktur Ivan.
“Udah mas, tadi udah ku telepon, dia minta malem ini wawancaranya, tinggal tunggu” jawab Ivan tegang.

“Oh, ya udah, lo jangan sampe lupa konfirmasi dulu satu jam sebelum wawancara, biar dia inget” perintahnya.

“Siap bos…..” jawab Ivan sambil pergi dari ruangannya.

Tepat satu jam sebelum janji wawancara yang sudah Ivan buat dengan narasumber, Ia pun mengontak narasumber tersebut via sms untuk konfirmasi, dan sang narasumber pun mengiyakan. Sejam kemudian, Ivan pun mewawancari narasumber itu dengan sukses.

Tidak terasa jam sudah menunjukan pukul enam sore, itu artinya waktunya untuk beristirahat sejenak, melepas penat di kepala akibat jam kerja yang melebih jam kerja orang kantoran biasa. Memang inilah resiko yang harus Ivan tempuh sebagai wartawan, tidak ada jam kerja, alias harus siap 24 jam sehari, tujuh hari seminggu untuk memantau berita dan menulis artikel.

Ivan menyalakan program musik yang ada di komputernya, sengaja Ivan memilih lagu-lagu terkini yang pelan, karena tujuannya adalah sedikit santai dan tidak mengganggu teman kerja lainnya yang terlihat masih serius dengan pekerjaan masing-masing.

Sekitar satu jam berlalu, pemutar musik itu terus melantunkan nada-nada lagu dari kelompok musik yang sedang tenar saat itu. Tak terasa memang waktu berjalan, karena Ivan melewatinya dengan mengobrol bersama-sama teman kantornya.

Bosan mengobrol, akhirnya Ivan memutuskan untuk menonton televisi di ruangan depan, mungkin ada beberapa program televisi yang menarik selain sinetron.

Tiba di ruangan depan, ternyata televisi sudah dikuasai seorang Office Boy (OB) yang sedang asyik-asyiknya melihat acara sinetron di salah satu televisi swasta. Sial pikir Ivan, “si Santo dah di depan tv, alamat ga bisa di ganggu gugat nih”.

Sambil duduk di sofa yang ada, Ivan mencoba untuk merayu Santo agar mengganti saluran televisi. “To pindahin sih, masa nonton sinetron ga mutu gini, mendingan nonton kartun aja” pintanya.

“Ah lo bul, ganggu orang lagi asyik aja, lagi rame nih” bela Santo.

Terkadang di kantor Ivan seperti tidak ada atasan bawahan, karena semuanya bersifat kekeluargaan (berlebihan bahkan), sehingga bawahan bisa saja melawan atasannya.

“Ayolah To, lo ngapain sih nonton sinetron, paling ceritanya cuma itu-itu aja, apa bagusnya sih?” paksa Ivan tanpa menyerah agar Santo memindahkan saluran televisi yang sedang dikuasainya.

“ Yeh bul, sinetron tuh banyak cewek cakepnya” Santo masih bisa membela diri, “lagian gue kan masih muda bul, jadi wajar dong kalo gue masih suka ma sinetron” tambahnya.

“Kampret lo” maki Ivan.

Santo hanya menyeringai licik, arti bahwa dia telah memenangi perdebatan tidak penting itu. OB satu ini memang jago ngeles, maklum lah baru lulus SMA, jadi wajar kalau masih ada sifat kekanak kanakan.

Dengan berat hati Ivan terpaksa melihat sinetron, tayangan yang tidak pernah Ivan suka sejak dulu, karena menurutnya sinetron Indonesia banyak yang tidak bermutu dan tidak mendidik.

Sambil memainkan hpnya, Ivan melihat-lihat lagi isi inbox sms dan siapa-siapa saja yang masuk menelepon.

Tiba-tiba saja tanpa dikomando, mata Ivan tertuju pada sebuah sms dari nomor asing yang belum bernama dalam kotak smsnya, di pesannya tertulis nama seorang wanita yang baru dikenalnya tadi, Cindy Clara Monica.

Ivan tertegun, diam sesaat. Entah apa yang merasuki pikirannya saat itu, akhirnya Ivan memberanikan diri untuk menelepon nomor hp itu, sambil masuk ke ruang rapat yang sepi dan gelap.

Ivan memang suka menelepon dengan suasana sepi dan temaram seperti ini, rasanya mendukung suasana romantis, dan itu bisa membangkitkan sifat melow Ivan yang tersembunyi. Jika sudah seperti ini, maka Ivan yang terkenal serius, kasar dan galak ini bisa langsung menjadi puitis.

Ada rasa ragu ketika Ivan menekan tombol tombol itu, tapi ketika Ivan menyadari keraguan itu, nada sambung sudah berbunyi dan segera saja suara lembut dan manja itu terdengar dari ujung sana.

“Halo, ini kak Ipam ya? Ada apa kak?” sahut suara manis itu yang mengenali nomor hp Ivan dengan cepat.

“Ah ga apa apa, Cuma iseng aja” jawab Ivan.

Entah mengapa Ivan merasa risih ketika mendengar suara Clara, baginya suaranya sangat menenangkan juga sekaligus membuat jantung Ivan berdebar.

“Clara lagi apa nih?” Ivan mencoba untuk bertanya dan memulai pembicaraan. Kebiasaan buruk Ivan adalah ia selalu salah tingkah jika sedang menelepon wanita yang menarik perhatiannya adalah dengan bertanya lagi apa. Ketauan banget kalo Ivan tuh kaku orangnya.

“Aku lagi tidur-tiduran aja kak” jawab Clara. “Kalo kakak lagi apa?” tanya balik.

“Ehh…aku lagi dikantor nih, lagi deadline” Ivan berusaha menjawabnya.

“Wah kakak rajin ya, jam segini masih kerja di kantor” katanya.

“Eh kak, kakak panggil aku Cindy aja ya, kaya Ci Monic dan orang rumah”

“Ok deh”.

Jika dipikir-pikir, jam kerja Ivan memang lebih panjang ketimbang teman-temannya yang lain, maklum bekerja disalah satu media nasional di Jakarta.

“Iya nih, soalnya aku lagi deadline”. “Cindy dah makan lom?” Ivan mencoba mencairkan suasana, dan lagi pula saat itu jam sudah menunjukan jam tujuh malam, artinya tepat jika Ivan menanyakan hal itu.

“Udah dong, kalo kakak dah makan belum?” tanyanya balik.

“Belom sih”. Mahluk yang jadi kelihatan seperti mahluk desa yang ketemu seuatu yang aneh ini memang selalu makan malam telat, sebab sering kali pekerjaannya tidak bisa ditinggal.

“Ih kakak jam segini ko belom makan sih, ntar sakit loh”

Mendengar kalimat dari Cindy yang mengkhawatirkannya Ivan langsung melayang. Kalimat itu terdengar lugu dan jujur serta perhatian.

“Eh kak, ko jam segini kakak belum pulang, emangnya kakak lembur ya?” tiba-tiba saja Cindy bertanya lagi.

Diberondong pertanyaan seperti itu, Ivana panik, tidak siap. Otaknya serasa beku sesaat, mengecil layaknya otak hewan, sehingga Ivan langsung jadi bodoh jika sudah seperti ini.

“Iya nih, soalnya lagi deadline, jadinya aku harus nginep di kantor” jawab Ivan.

“Emang deadline itu apa kak?” ternyata Cindy tidak tahu arti kata deadline, mungkin karena dia tidak pernah bergaul dengan wartawan.

“Deadline itu waktu terakhir untuk mengumpulkan tulisan” jelas Ivan.

“Ooo begitu. Kalo begitu, setelah tulisan selesai, kakak harus ngumpulin tulisannya ya? Kaya anak kuliahan aja, hihihihi….”.

“O iya tulisan kakak dah selesai belum?” tanyanya lagi pada Ivan.

“Beberapa sih udah, ini lagi nunggu narasumber untuk diwawancara”.

“Berarti kalo udah selesai, kakak boleh pulang dong?” Dia terus bertanya seakan-akan tidak pernah mendengar apa yang menjadi pekerjaan seorang wartawan.

“Belum bisa” jawab Ivan
.
“Kok belum bisa pulang, kan tulisan kakak udah selesai, berarti ga ada pekerjaan lagi dong”

“Iya, soalnya setelah tulisan selesai, tulisan itu harus diperiksa sama redaktur atau atasan kakak.”

“Setelah itu harus dimasukkan ke bagian artistik untuk didesain sambil disertai foto-foto yang sudah dipilih untuk dijadikan tabloid” terang Ivan mengapa dirinya tidak bisa pulang setelah tulisannya selesai, kali ini menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti olehnya.

“Oh begitu, wah kakak pasti cape banget, udah kerjaannya banyak, musti begadang, pasti ga tidur semaleman”

Mendengar kalimat terakhir yang keluar darinya membuat Ivan melayang lagi, dirinya merasakan sebuah perasaan aneh di dalam hati, sebuah perasaan aneh tak terlukiskan dan mungkin sudah lama tidak Ivan rasakan.

Ivan merasa mendapatkan perhatian lebih darinya, walaupun itu hanya sebuah kalimat yang mungkin biasa saja, tapi entah mengapa Ivan menyukai kalimat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar