Rabu, 27 Januari 2010

Sedetik Ku Mengenalmu...(Bagian 3)

Ivan merasa mendapatkan perhatian lebih darinya, walaupun itu hanya sebuah kalimat yang mungkin biasa saja, tapi entah mengapa Ivan menyukai kalimat itu.

Anak satu ini memang sulit sekali untuk jatuh cinta. Bisa dihitung dengan jari kapan Ivan jatuh cinta kepada wanita di sekilingnya. Sebab menurutnya, menyukai seseorang itu tidak hanya dari tampilan luarnya saja, melainkan Ivan harus menemukan dulu iner beauty seorang wanita terlebih dahulu, baru dia merasakan “rasa” itu.

“Yah gitu deh, kalo ditanya cape atau ngga, pasti cape, namanya juga kerja, nanti juga Clindy ngerasain” jawab Ivan.

“Mmm…Cindy kuliah dimana sih? Ivan mencoba mengorek informasi mengenai dirinya, karena selama Ivan mengenal Monic, Ivan tidak pernah tahu mengeni adik Monic yang satu ini.

“Aku kuliah di USU kak”

“Apaan tuh USU?” spontan Ivan bertanya setelah mendengar kata yang terbilang asing baginya..

“Ah masa kakak ga tau sih singkatan USU”

“Beneran ga tau Cindy, baru denger”.

“USU itu singkatan Universitas Sumatera Utara kak” terangnya.

“Ooo…” hanya itu yang bisa Ivan ungkapkan, karena Ivan memang benar-benar tidak tahu apa itu USU.

Mendengar jawaban yang hanya seperti itu, Cindy seakan-akan meledek Ivan dengan menyebut diri Ivan kurang pergaulan dan tahunya hanya Jakarta saja. “O iya aku lupa, kakak kan tinggal di Jakarta, mana mungkin tahu USU yang ada di Medan, kota yang ga sebesar Jakarta ini”.

Mendengar kalimat seperti itu, tentu Ivan merasa benar-benar tersindir.

“Maaf, tapi aku memang ga tau USU dimana” Ivan mencoba membela dirinya.

“Ya wajar sih kalo kakak ga tau”.

“Terus, Cindy ngambil jurusan apa dan udah semester berapa?” tanya Ivan lagi.

“Aku ambil jurusan akuntansi kak, udah semester tiga, ini mau masuk semester empat” jawabnya. “Tapi aku paling muda di kelas kak” terangnya lagi.

“Paling muda? Kok bisa, kan semuanya hampir seumuran” Ivan penasaran kenapa Cindy bisa jadi yang paling muda di antara teman-teman kuliahnya.

“Iya kak, soalnya aku baru 17 tahun, sedangkan teman-temanku umurnya udah 18 tahun” jelasnya.

Mendengar penjelasan seperti itu, Ivan tentu saja terbengong-bengong, dan timbul pertanyaan mengaapa bisa anak umur 18 tahun bisa sudah kuliah, semester tiga pula.

Belum sempat Ivan tersadar dari rasa herannya, suara di balik telepon itu kembali terdengar, “Kenapa kak, kok diem?”.

“Ah ngga” Ivan langsung tersadar dari pikirannnya yang penuh dengan rasa penasaran.

“Berarti Cindy pinter banget dong, udah bisa kuliah, padahal Cindy kan baru 18 tahun”.

“Ngga kok kak, aku ga pinter-pinter amat” sanggahnya,”kalo Kak Alung sama Ci Monic tuh baru pinter, apalagi Ci Monic, dia bisa masuk fakultas kedokteran di Jakarta, dah gitu dia dapet beasiswa ke Australia”.

Mendengar informasi Monic yang berada di Australia, Ivan akhirnya tahu kenapa Monic tidak bisa dihubungi belakangan ini.

“Oh pantes aku ga bisa ngehubungin Monic, ternyata Monic ke Australia”.

“Kapan Monic ke Australia? Terus kuliah disini gimana?” Ivan mencoba informasi lebih banyak mengenai Monic.

“Iya Ci Monic dah berangkat ke Australia bulan kemaren kak, kuliahnya yang di kedokteran ditinggalin gitu aja, padahal kan udah semester enam, mami ma papi juga dah ngeluarin uang gede buat kuliahnya Ci Monic di Jakarta, eh Ci Monic malah ninggalin gitu aja”. Jelas Cindy.

“Eh sebentar ya kak, mami manggil aku ke bawah, ntar telponnya disambung lagi ya”, Cindy mengakhiri pembicaraan mereka berdua.

“Oh ok deh kalo gitu” jawab Ivan.

“Ntar kalo kakak mau ngobrol lagi, sms aja ya kak” Cindy sepertinya sudah membaca pikiran Ivan yang masih penasaran dengan dirinya.

“Gampang lah” lagi-lagi Ivan menjawab pendek.

“Dag kakak” pamit Cindy sambil menutup telponnya.

Setelah obrolan itu selesai, Ivan masih terbayang-bayang suara Cindy dan sikapnya yang ternyata sangat mudah untuk diajak berkenalan, bahkan untuk orang yang baru dikenalnya lewat chatting dan belum pernah bertemu.

“Anaknya asik juga, ga sombong n sok. Ga kaya cewe laen yang suka jual mahal atau sok keren” Ivan asik dengan pikirannya sendiri, dan mulai berpikir ingin berkenalan lebih jauh dengan anak perempuan satu ini.

Setelah bermain dengan pikiran dan imajinasinya yang sedikit nyeleneh, Ivan kemudian kembali ke rangan kerjanya. Saat itu jam sudah menunjukan pukul 7.00 malam, artinya ia mengobrol dengan Cindy cukup lama.

Jari Ivan kembali menari lincah di keyboard komputernya, menulis satu persatu kalimat untuk tulisannya.

Malam itu Ivan memang sedang deadline, itu artinya ia harus menginap di kantor, menyelesaikan semua pekerjaannya hari itu juga, kalau perlu tidak tidur hingga materi majalah yang dikerjakan dikirim ke percetakan.

Persambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar