Kamis, 17 Juni 2010

Yang Tertinggal Darimu


Jika mesin waktu bukanlah sebuah mimpi belaka
Aku ingin memutar waktu yang terbuang percuma
Merajut kembali asa yang tercecer di masa lalu bersama mu
Hingga tercipta jalinan cerita utuh tentang kita berdua

Jika ada pintu yang mengantarkan ku kemanapun aku mau
Kau lah yang kutuju
Walau itu sulit,
tapi kan ku jalani setapak demi setapak

Jika ada waktu yang dapat ku genggam
Aku ingin memberikannya kepada mu
Membawa mu kembali ke sisi ku walau hanya sekejap
hanya untuk melihat senyum mu terkembang

Tapi aku tak bisa
Kini kau berada di luar jangkauan ku
Tidak lagi tangan, tidak lagi langkah, bahkan pikiran
Maka tersenyumlah walau itu dalam mimpi
Agar asa ini tetap terjaga untuk memenuhi janji ku

Rabu, 27 Januari 2010

Sedetik Ku Mengenalmu...(Bagian 3)

Ivan merasa mendapatkan perhatian lebih darinya, walaupun itu hanya sebuah kalimat yang mungkin biasa saja, tapi entah mengapa Ivan menyukai kalimat itu.

Anak satu ini memang sulit sekali untuk jatuh cinta. Bisa dihitung dengan jari kapan Ivan jatuh cinta kepada wanita di sekilingnya. Sebab menurutnya, menyukai seseorang itu tidak hanya dari tampilan luarnya saja, melainkan Ivan harus menemukan dulu iner beauty seorang wanita terlebih dahulu, baru dia merasakan “rasa” itu.

“Yah gitu deh, kalo ditanya cape atau ngga, pasti cape, namanya juga kerja, nanti juga Clindy ngerasain” jawab Ivan.

“Mmm…Cindy kuliah dimana sih? Ivan mencoba mengorek informasi mengenai dirinya, karena selama Ivan mengenal Monic, Ivan tidak pernah tahu mengeni adik Monic yang satu ini.

“Aku kuliah di USU kak”

“Apaan tuh USU?” spontan Ivan bertanya setelah mendengar kata yang terbilang asing baginya..

“Ah masa kakak ga tau sih singkatan USU”

“Beneran ga tau Cindy, baru denger”.

“USU itu singkatan Universitas Sumatera Utara kak” terangnya.

“Ooo…” hanya itu yang bisa Ivan ungkapkan, karena Ivan memang benar-benar tidak tahu apa itu USU.

Mendengar jawaban yang hanya seperti itu, Cindy seakan-akan meledek Ivan dengan menyebut diri Ivan kurang pergaulan dan tahunya hanya Jakarta saja. “O iya aku lupa, kakak kan tinggal di Jakarta, mana mungkin tahu USU yang ada di Medan, kota yang ga sebesar Jakarta ini”.

Mendengar kalimat seperti itu, tentu Ivan merasa benar-benar tersindir.

“Maaf, tapi aku memang ga tau USU dimana” Ivan mencoba membela dirinya.

“Ya wajar sih kalo kakak ga tau”.

“Terus, Cindy ngambil jurusan apa dan udah semester berapa?” tanya Ivan lagi.

“Aku ambil jurusan akuntansi kak, udah semester tiga, ini mau masuk semester empat” jawabnya. “Tapi aku paling muda di kelas kak” terangnya lagi.

“Paling muda? Kok bisa, kan semuanya hampir seumuran” Ivan penasaran kenapa Cindy bisa jadi yang paling muda di antara teman-teman kuliahnya.

“Iya kak, soalnya aku baru 17 tahun, sedangkan teman-temanku umurnya udah 18 tahun” jelasnya.

Mendengar penjelasan seperti itu, Ivan tentu saja terbengong-bengong, dan timbul pertanyaan mengaapa bisa anak umur 18 tahun bisa sudah kuliah, semester tiga pula.

Belum sempat Ivan tersadar dari rasa herannya, suara di balik telepon itu kembali terdengar, “Kenapa kak, kok diem?”.

“Ah ngga” Ivan langsung tersadar dari pikirannnya yang penuh dengan rasa penasaran.

“Berarti Cindy pinter banget dong, udah bisa kuliah, padahal Cindy kan baru 18 tahun”.

“Ngga kok kak, aku ga pinter-pinter amat” sanggahnya,”kalo Kak Alung sama Ci Monic tuh baru pinter, apalagi Ci Monic, dia bisa masuk fakultas kedokteran di Jakarta, dah gitu dia dapet beasiswa ke Australia”.

Mendengar informasi Monic yang berada di Australia, Ivan akhirnya tahu kenapa Monic tidak bisa dihubungi belakangan ini.

“Oh pantes aku ga bisa ngehubungin Monic, ternyata Monic ke Australia”.

“Kapan Monic ke Australia? Terus kuliah disini gimana?” Ivan mencoba informasi lebih banyak mengenai Monic.

“Iya Ci Monic dah berangkat ke Australia bulan kemaren kak, kuliahnya yang di kedokteran ditinggalin gitu aja, padahal kan udah semester enam, mami ma papi juga dah ngeluarin uang gede buat kuliahnya Ci Monic di Jakarta, eh Ci Monic malah ninggalin gitu aja”. Jelas Cindy.

“Eh sebentar ya kak, mami manggil aku ke bawah, ntar telponnya disambung lagi ya”, Cindy mengakhiri pembicaraan mereka berdua.

“Oh ok deh kalo gitu” jawab Ivan.

“Ntar kalo kakak mau ngobrol lagi, sms aja ya kak” Cindy sepertinya sudah membaca pikiran Ivan yang masih penasaran dengan dirinya.

“Gampang lah” lagi-lagi Ivan menjawab pendek.

“Dag kakak” pamit Cindy sambil menutup telponnya.

Setelah obrolan itu selesai, Ivan masih terbayang-bayang suara Cindy dan sikapnya yang ternyata sangat mudah untuk diajak berkenalan, bahkan untuk orang yang baru dikenalnya lewat chatting dan belum pernah bertemu.

“Anaknya asik juga, ga sombong n sok. Ga kaya cewe laen yang suka jual mahal atau sok keren” Ivan asik dengan pikirannya sendiri, dan mulai berpikir ingin berkenalan lebih jauh dengan anak perempuan satu ini.

Setelah bermain dengan pikiran dan imajinasinya yang sedikit nyeleneh, Ivan kemudian kembali ke rangan kerjanya. Saat itu jam sudah menunjukan pukul 7.00 malam, artinya ia mengobrol dengan Cindy cukup lama.

Jari Ivan kembali menari lincah di keyboard komputernya, menulis satu persatu kalimat untuk tulisannya.

Malam itu Ivan memang sedang deadline, itu artinya ia harus menginap di kantor, menyelesaikan semua pekerjaannya hari itu juga, kalau perlu tidak tidur hingga materi majalah yang dikerjakan dikirim ke percetakan.

Persambung....

Sedetik Ku Mengenalmu...(Bagian 2)

Setelah percakapan yang tidak lama itu, Ivan kembali mengerjakan pekerjaannya yang diseling oleh chatting tadi.

“Van….kesini lo!!!!!”, tiba-tiba suara keras itu memanggil Ivan yang sedang asyik menulis. Biasanya jika redaktur Ivan sudah teriak pasti ada masalah, entah itu tulisan yang kacau atau janji wawancara yang masih menggantung.

“Ya mas!!!” jawab Ivan sambil secepatnya jalan ke ruangan redaktur.

“Lo dah bikin janjian belom sama narasumber, sekarang dah hari kamis minggu kedua” tanya redaktur Ivan.
“Udah mas, tadi udah ku telepon, dia minta malem ini wawancaranya, tinggal tunggu” jawab Ivan tegang.

“Oh, ya udah, lo jangan sampe lupa konfirmasi dulu satu jam sebelum wawancara, biar dia inget” perintahnya.

“Siap bos…..” jawab Ivan sambil pergi dari ruangannya.

Tepat satu jam sebelum janji wawancara yang sudah Ivan buat dengan narasumber, Ia pun mengontak narasumber tersebut via sms untuk konfirmasi, dan sang narasumber pun mengiyakan. Sejam kemudian, Ivan pun mewawancari narasumber itu dengan sukses.

Tidak terasa jam sudah menunjukan pukul enam sore, itu artinya waktunya untuk beristirahat sejenak, melepas penat di kepala akibat jam kerja yang melebih jam kerja orang kantoran biasa. Memang inilah resiko yang harus Ivan tempuh sebagai wartawan, tidak ada jam kerja, alias harus siap 24 jam sehari, tujuh hari seminggu untuk memantau berita dan menulis artikel.

Ivan menyalakan program musik yang ada di komputernya, sengaja Ivan memilih lagu-lagu terkini yang pelan, karena tujuannya adalah sedikit santai dan tidak mengganggu teman kerja lainnya yang terlihat masih serius dengan pekerjaan masing-masing.

Sekitar satu jam berlalu, pemutar musik itu terus melantunkan nada-nada lagu dari kelompok musik yang sedang tenar saat itu. Tak terasa memang waktu berjalan, karena Ivan melewatinya dengan mengobrol bersama-sama teman kantornya.

Bosan mengobrol, akhirnya Ivan memutuskan untuk menonton televisi di ruangan depan, mungkin ada beberapa program televisi yang menarik selain sinetron.

Tiba di ruangan depan, ternyata televisi sudah dikuasai seorang Office Boy (OB) yang sedang asyik-asyiknya melihat acara sinetron di salah satu televisi swasta. Sial pikir Ivan, “si Santo dah di depan tv, alamat ga bisa di ganggu gugat nih”.

Sambil duduk di sofa yang ada, Ivan mencoba untuk merayu Santo agar mengganti saluran televisi. “To pindahin sih, masa nonton sinetron ga mutu gini, mendingan nonton kartun aja” pintanya.

“Ah lo bul, ganggu orang lagi asyik aja, lagi rame nih” bela Santo.

Terkadang di kantor Ivan seperti tidak ada atasan bawahan, karena semuanya bersifat kekeluargaan (berlebihan bahkan), sehingga bawahan bisa saja melawan atasannya.

“Ayolah To, lo ngapain sih nonton sinetron, paling ceritanya cuma itu-itu aja, apa bagusnya sih?” paksa Ivan tanpa menyerah agar Santo memindahkan saluran televisi yang sedang dikuasainya.

“ Yeh bul, sinetron tuh banyak cewek cakepnya” Santo masih bisa membela diri, “lagian gue kan masih muda bul, jadi wajar dong kalo gue masih suka ma sinetron” tambahnya.

“Kampret lo” maki Ivan.

Santo hanya menyeringai licik, arti bahwa dia telah memenangi perdebatan tidak penting itu. OB satu ini memang jago ngeles, maklum lah baru lulus SMA, jadi wajar kalau masih ada sifat kekanak kanakan.

Dengan berat hati Ivan terpaksa melihat sinetron, tayangan yang tidak pernah Ivan suka sejak dulu, karena menurutnya sinetron Indonesia banyak yang tidak bermutu dan tidak mendidik.

Sambil memainkan hpnya, Ivan melihat-lihat lagi isi inbox sms dan siapa-siapa saja yang masuk menelepon.

Tiba-tiba saja tanpa dikomando, mata Ivan tertuju pada sebuah sms dari nomor asing yang belum bernama dalam kotak smsnya, di pesannya tertulis nama seorang wanita yang baru dikenalnya tadi, Cindy Clara Monica.

Ivan tertegun, diam sesaat. Entah apa yang merasuki pikirannya saat itu, akhirnya Ivan memberanikan diri untuk menelepon nomor hp itu, sambil masuk ke ruang rapat yang sepi dan gelap.

Ivan memang suka menelepon dengan suasana sepi dan temaram seperti ini, rasanya mendukung suasana romantis, dan itu bisa membangkitkan sifat melow Ivan yang tersembunyi. Jika sudah seperti ini, maka Ivan yang terkenal serius, kasar dan galak ini bisa langsung menjadi puitis.

Ada rasa ragu ketika Ivan menekan tombol tombol itu, tapi ketika Ivan menyadari keraguan itu, nada sambung sudah berbunyi dan segera saja suara lembut dan manja itu terdengar dari ujung sana.

“Halo, ini kak Ipam ya? Ada apa kak?” sahut suara manis itu yang mengenali nomor hp Ivan dengan cepat.

“Ah ga apa apa, Cuma iseng aja” jawab Ivan.

Entah mengapa Ivan merasa risih ketika mendengar suara Clara, baginya suaranya sangat menenangkan juga sekaligus membuat jantung Ivan berdebar.

“Clara lagi apa nih?” Ivan mencoba untuk bertanya dan memulai pembicaraan. Kebiasaan buruk Ivan adalah ia selalu salah tingkah jika sedang menelepon wanita yang menarik perhatiannya adalah dengan bertanya lagi apa. Ketauan banget kalo Ivan tuh kaku orangnya.

“Aku lagi tidur-tiduran aja kak” jawab Clara. “Kalo kakak lagi apa?” tanya balik.

“Ehh…aku lagi dikantor nih, lagi deadline” Ivan berusaha menjawabnya.

“Wah kakak rajin ya, jam segini masih kerja di kantor” katanya.

“Eh kak, kakak panggil aku Cindy aja ya, kaya Ci Monic dan orang rumah”

“Ok deh”.

Jika dipikir-pikir, jam kerja Ivan memang lebih panjang ketimbang teman-temannya yang lain, maklum bekerja disalah satu media nasional di Jakarta.

“Iya nih, soalnya aku lagi deadline”. “Cindy dah makan lom?” Ivan mencoba mencairkan suasana, dan lagi pula saat itu jam sudah menunjukan jam tujuh malam, artinya tepat jika Ivan menanyakan hal itu.

“Udah dong, kalo kakak dah makan belum?” tanyanya balik.

“Belom sih”. Mahluk yang jadi kelihatan seperti mahluk desa yang ketemu seuatu yang aneh ini memang selalu makan malam telat, sebab sering kali pekerjaannya tidak bisa ditinggal.

“Ih kakak jam segini ko belom makan sih, ntar sakit loh”

Mendengar kalimat dari Cindy yang mengkhawatirkannya Ivan langsung melayang. Kalimat itu terdengar lugu dan jujur serta perhatian.

“Eh kak, ko jam segini kakak belum pulang, emangnya kakak lembur ya?” tiba-tiba saja Cindy bertanya lagi.

Diberondong pertanyaan seperti itu, Ivana panik, tidak siap. Otaknya serasa beku sesaat, mengecil layaknya otak hewan, sehingga Ivan langsung jadi bodoh jika sudah seperti ini.

“Iya nih, soalnya lagi deadline, jadinya aku harus nginep di kantor” jawab Ivan.

“Emang deadline itu apa kak?” ternyata Cindy tidak tahu arti kata deadline, mungkin karena dia tidak pernah bergaul dengan wartawan.

“Deadline itu waktu terakhir untuk mengumpulkan tulisan” jelas Ivan.

“Ooo begitu. Kalo begitu, setelah tulisan selesai, kakak harus ngumpulin tulisannya ya? Kaya anak kuliahan aja, hihihihi….”.

“O iya tulisan kakak dah selesai belum?” tanyanya lagi pada Ivan.

“Beberapa sih udah, ini lagi nunggu narasumber untuk diwawancara”.

“Berarti kalo udah selesai, kakak boleh pulang dong?” Dia terus bertanya seakan-akan tidak pernah mendengar apa yang menjadi pekerjaan seorang wartawan.

“Belum bisa” jawab Ivan
.
“Kok belum bisa pulang, kan tulisan kakak udah selesai, berarti ga ada pekerjaan lagi dong”

“Iya, soalnya setelah tulisan selesai, tulisan itu harus diperiksa sama redaktur atau atasan kakak.”

“Setelah itu harus dimasukkan ke bagian artistik untuk didesain sambil disertai foto-foto yang sudah dipilih untuk dijadikan tabloid” terang Ivan mengapa dirinya tidak bisa pulang setelah tulisannya selesai, kali ini menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti olehnya.

“Oh begitu, wah kakak pasti cape banget, udah kerjaannya banyak, musti begadang, pasti ga tidur semaleman”

Mendengar kalimat terakhir yang keluar darinya membuat Ivan melayang lagi, dirinya merasakan sebuah perasaan aneh di dalam hati, sebuah perasaan aneh tak terlukiskan dan mungkin sudah lama tidak Ivan rasakan.

Ivan merasa mendapatkan perhatian lebih darinya, walaupun itu hanya sebuah kalimat yang mungkin biasa saja, tapi entah mengapa Ivan menyukai kalimat itu.

Selasa, 19 Januari 2010

Sedetik Ku Mengenalmu, Selamanya Ku Mencintaimu

Chating
Pikiran Ivan melayang, tatapan matanya yang kosong menerawang entah kemana, entah apa yang ada dipikirannya.

“Hhhhh…. Berat rasanya melalui hari-hari dengan perasaan terluka seperti ini. Tidak terasa udah sekitar sebulan aku merasa tidak berarti apa-apa” ucap Ivan dalam hatinya.

Semuanya dimulai ketika Ivan menerima beberapa pesan singkat dari seseorang yang sudah dianggap sebagai sahabat dan orang yang paling berarti buatnya, Kartika. Yah memang, kalau melihat dari sejarahnya yang cukup panjang, Ivan pernah memiliki perasaan khusus padanya, walaupun sahabatnya itu sudah menolaknya.

Setelah penolakan itu, cowo yang kadang kala susah ditebak jalan pikirannya ini, tetap berusaha biasa terhadapnya, namun sepertinya sahabatnya berubah dan sekitar sebulan lalu ia mengirimkan pesan singkat yang berisikan agar Ivan menjaga jarak dengannya, karena ia sedang dekat dengan salah seorang teman laki-laki di kantornya.

Ivan tentu saja terguncang, karena dari sms itu akhirnya dirinya mengetahui, bahwa dirinya tidak memiliki arti apa-apa di mata sahabatnya, padahal baginya Kartika adalah segalanya, dia adalah sahabat yang akan aku perjuangkan hingga titik darah penghabisan. Ironis, ternyata selama ini semua yang kupercaya hanya ada dalam benakku saja.

Setelah kejadian itu semua gairah hidup Ivan seakan pergi jauh dari badan dan pikirannya, semuanya hilang dan membuatnya seakan-akan putus asa dan tidak memiliki arti apa-apa lagi, karena Kartika yang dianggapnya berharga ternyata tidak pernah terbalaskan.

Semenjak itu laki-laki berbadan gempal,rambut sedikit ikal cepak, berkacamata ini memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan sahabatnya lagi, baik itu lewat handphone, email, friendster atau apapun sarana yang bisa berhubungan dengannya, termasuk lewat jaringan alumni SMA, pokoknya semuanya Ivan lakukan agar apa yang menjadi keinginan sahabatnya terkabul, menjaga jarak.

Dan benar saja, selama sebulan ini tidak ada satupun kabar dari Kartika, baik itu sms atau sebuah email yang menanyakan kabar cowo yang selalu dibilang Cina kampung karena matanya yang sipit tapi kulitnya coklat.

*
Tidak terasa bulan puasa hapir tiba, dan Ivan sudah mendiamkan sahabatnya. Ini adalah tahun pertama Ivan menjalani bulan Ramadhan sambil bekerja di Jakarta, padahal tahun sebelumnya Ivan masih melaksanakan puasa di rumah bersama-sama kedua orang tua dan adik di rumah, setelah dirinya lulus kuliah.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Ivan melaksanakan puasa di ibu kota, dua tahun sebelumnya Ivan sudah pernah mengalami hal ini sewaktu masih bekerja di Bursa Efek Jakarta, hanya saja saat itu Ivan tidak tinggal di Jakarta, melainkan pulang pergi Purwakarta-Jakarta.

*
Rasanya membosankan, karena semuanya terasa lemas dan kebetulan tidak ada liputan lapangan atau liputan keluar kota. Akhirnya sekarang Ivan selalu di ruangan, mencari data dari internet dan chatting di Yahoo Massengger (YM).

Chatting dengan YM memang seperti sudah kewajiban di kantor Ivan yang berprofesi sebagai wartawan. Bukan karena hobi, tetapi lebih karena komunikasi pekerjaan harus dilakukan lewat fasilitas ini.

Perusahaan Ivan memang menggunakan fasilitas YM untuk berkomunikasi antar divisi, baik yang di kantor cabang, maupun di kantor pusat. Perusahaan menilai menggunakan YM bisa lebih efisien dan menghemat biaya serta waktu untuk mengirimkan dokumen.

Karena sudah menjadi kebiasaan, maka setiap kali Ivan menghidupkan komputerku, maka YM adalah hal pertama yang dinyalakan setelah membuka folder data di komputer.

*
Jam sudah menunjukan pukul sembilan ketika anak laki laki gembul ini bangun dari tidurnya.

“ah rasanya malas sekali untuk membuka mata, mengingat tadi malam aku tidur jam tiga pagi setelah menyelesaikan tulisanku dan mencari data sambil sekali-sekali baca komik lewat situs komik” Ivan bicara sendiri dengan pikirannya.

Sambil setengah terpejam Ivan mencoba bangun dari hangatnya kasur dan sejuknya AC di ruangan kerjanya, dan pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan mengambil segelas air di pantry.

“Baru bangun Van?” suara seorang wanita menyapa Iavan ketika ia berjalan ke kamar mandi. “Iya Teh” jawab Ivan kepada Teh Ani yang berbarengan keluar dari ruang kerjanya.

Sudah hampir dua bulan Ivan menginap di kantor (bukan sesuatu yang bisa dibanggakan), jarang sekali pulang ke rumah, karena malas dan capai sekali dengan perjalanannya yang mencapai satu jam setengah akibat macet, masalah tradisional Jakarta.

Setelah cuci muka dan mengambil air, Ivan kembali ke ruangan ku dengan masih mengenakan kaos singlet dan celana pendek yang berasal dari celana jeansnya yang digunting asal, serta rambut yang masih acak-acakan karena belum disisir.

Setibanya di ruangan, segera saja Ivan menyalakan komputer dan mengaktifkan radio streaming dengan suara keras, suatu rutinitas yang sudah Ivan jalani semenjak kuliah, mendengarkan radio di pagi hari.

Dibesarkannya suara radio streaming itu untuk menyemarakan pagi sekaligus sebagai penyemangat, lalu satu persatu folder data komputernya dibuka sambil mengaktifkan YM dan email.

“Hmm…..ga ada kabar lagi dari Kartika” pikiran Ivan bicara sendiri sambil melihat emailnya yangditeramnya pagi itu. Setelah itu Ivan membuka situs berita detikan, dan situs berita suatu surat kabar nasional. Bukan ingin disebut sok rajin atau sok sibuk, tetapi membaca berita setiap pagi adalah salah satu pekerjaan Ivan untuk mencari isu, atau hanya sekedar memperbaharui informasi.

Ruangan kerja itu masih kosong walau jam kantor sudah dimulai. Ruangan berisikan enam meja dan empat komputer ini memang tidak pernah ramai sebelum jam tiga sore, karena paling pagi rekan-rekan kerja Ivan datang jam sepuluh pagi.

Saat itu kantor yang terlihat seperti rumah jika dilihat dari luar itu, baru didatangi oleh beberapa orang saja, masih terlihat para office boy membersihkan ruangan, termasuk ruangan kerja Ivan.

Sambil membuka email dan mendengarkan radio, Ivan membuka folder data komputer, mencari berkas tulisan edisi terbaru. Ia periksa, rubrik-rubrik apa saja yang belum lengkap datanya, dan membuka tulisan yang hampir selesai dibuatnya tadi malam.

“Hmm…masih banyak rubrik yang datanya kurang, bahkan ada rubrik yang datanya belum terkumpul sama sekali”, kembali Ivan berbincang dengan pikirannya. Bukan karena ia malas mencari data, tetapi terkadang untuk menulis salah satu rubrik, Ivan belum punya ide akan menulis apa hingga akhir masa tenggang atau deadline.

Ini memang menjadi kebiasaan Ivan sejak lama, memang bukan kebiasaan yang baik, justru ini sebuah kebiasaan buruk yang sudah sulit diperbaikinya, apalagi jika keadaan sekitarnya tidak mendukung untuk memperbaiki kebiasaan jelek itu.

Akibat dari kebiasaan buruk ini, laki-laki ini sering tidak punya ide dan tidak bisa bekerja maksimal jika belum mendekati akhir masa pekerjaan dan jika tidak merasakan aliran caffein dalam darah.

*
Jalan di depan bangunan yang terlihat seperti rumah biasa itu sudah mulai padat oleh kendaraan, panas dan dipenuhi oleh asap knalpot kendaraan yang lalu lalang. Teras depan sudah mulai dimasuki kendaraan motor entah milik tamu, dan teras belakang sudah dipenuhi oleh motor-motor dan mobil milik pegawai.

Ruangan berukuran tujuh kali lima meter itu mulai didatangi orang, satu-persatu kursi yang tersedia sudah mulai diduduki si empunya. Komputer menyala mengambarkan berbagai artikel dari berbagai situs yang diakses, disertai segelas the hangat atau hanya segelas air putih mendampingi monitor.

Tidak terasa, jam sudah menunjukan pukul 11:00 WIB. Aktifitas kantor sudah mulai terasa dengan berbagai kesibukannya. Tapi Ivan masih saja belum mandi, masih menggunakan kaos singlet yang warnanya sudah mulai kekuningan akibat sudah dua hari dipakai dan menggunakan celana bahan yang dipotong asal tanpa dijahit kembali, sehingga benangnya banyak terurai tak karuan.

Badan ini mulai terasa gerah walau suhu pendingin ruangan menunjukan suhu 17 deracat celcius, suhu paling dingin.

“Mandi sih lo bul!” perintah suara itu.

“Ntar dulu Den, nanggung”.

“Lagian gue ga kemana-kemana hari ini, jadi ngapain harus mandi cepet-cepet”.

“Bau bul” katanya lagi, sambil setengah meledek.

“Sial lo”.

Risih juga mendengar kata-kata bau. Dengan polosnya Ivan mencium kedua ketiaknya. Sontak saja wangi khas bagian lipatan itu menyeruak.

“Hmmmm…. Ternyata lumayan bau asem” pikir Ivan. Dan akhirnya Ivan memuputuskan mandi setelah mencium kedua ketiaknya yang lumayan wangi itu.

Terganggu dengan bau yang menyegarkan itu, Ivan pun bergegas ke kamar mandi dan bergegas melepaskan bajunya yang cuma kaos singlet dan celana kolor itu, lalu memulai ritual mandi paginya (what the hell with pagi), yaitu boker alias buang hajat, atau Ivan bilang memenuhi panggilan alam.

Ivan memang menganggap buang air besar di pagi hari adalah sebuah panggilan alam yang tidak terbantahkan. Sewaktu kuliah, ia pernah berdebat dengan temannya mengenai filsafat panggilan alam di pagi hari ini. Baginya, urusan panggilan alam di pagi hari itu jika dipandang dari sudut filosofi adalah sebuah perenungan filsafat yang dapat menggugah ide-ide liarnya, karena telah melalui proses berpikir lalu menghasilkan sesuatu.

Temannya yang mendengarkan penjelasannya, tentu saja berpikir Ivan salah masuk jurusan. Harusnya Ivan masuk ke jurusan psikologi atau melapor ke psikiater ketimbang masuk fakultas hukum akibat pemikiran filsafatnya tentang rutinitas boker paginya. Tapi toh Ivan lulus dengan IPK nyaris Cum Laude dari fakultas hukum.
Dan rutintas pagi pun dilakukan Ivan. Bisa ditebak, akibat dari kebiasaan pagi ini, pintu kamar mandi sering kali digedor oleh temannya dikantor yang mau mempergunakan toilet, dan dengan tanpa bersalah Ivan selalu bilang “nanggung nih, pake toilet laen aja…!!!” Kalau sudah seperti ini, tidak ada satupun rang yang bisa mengganggu gugat.

Selesai dengan mandi paginya (Ivan selalu menganggap, kalau belum lebih dari jam 12:00 artinya blom siang-siang amat) Ivan pun kembali ke ruangan kerjanya dengan menggunakan pakaian rapih dan melanjutkan pekerjaannya.

*
Ivan terlihat serius, di komputernya terlihat beberapa folder terbuka, mulai dari word, situs berita dalam dan luar negeri, foto-foto senjata dan YMnya yang tidak pernah mati.

Jari-jarinya seakan menari lincah di atas keyboard mengetikan rangkaian kata demi kata. Ivan sibuk dengan tulisannya.

Di tengah keasyikannya menulis artikel, tiba-tiba di sisi pojok kiri bawah layar komputernya timbul tanda tertulis “Cicil Monica now online”. Seketika itu juga Ivan langsung menngklik nama itu dan menyapanya, karena sudah beberapa bulan nama YM itu tidak aktif. Dan Ivan pun menyapanya.

“Hai Cicil, kemana aja nih? Ko ga pernah OL lagi” sapanya.

Tidak lama kemudian, Cicil menjawabnya, “Sori ini bukan Cicil, tapi Clara, adiknya Monic”.

Ivan yang mendapatkan jawaban seperi itu tentu saja terkejut bercampur aneh, menpa yang menjawab pertanyaannya bukan Cicil, melainkan orang lain yang mengaku sebagai adiknya.

“Oh sori, aku kirain Cicil, habis sudah lama YMnya Cicil ga aktif” Ivan berusaha menguasai dirinya dari rasa terkejut.

Rasa malu menghinggapi kepala Ivan akibat dirinya salah sangka.

Tidak lama kemudian YM Cicil kembali mengeluarkan kalimat. “Kakak temennya ci Monic ya? Boleh kenalan ga?” tanyanya.

Karena sudah kepalang tanggung, akhirnya Ivan menlanjutkan percakapan itu. “iya, boleh aja ko” jawab Ivan.

“Nama kakak siapa?” gadis bernama Clara itu memberondong Ivan dengan pertanyaan.

“Namaku Ivan”.

“Ka, boleh minta no hpnya ga?” pinta gadis itu.
Dalam benaknya Ivan berpikir, “wah gila juga ini anak, baru kenal sudah minta no hp”. Tetapi entah mengapa Ivan memberikan nomor hpnya, padahal Ivan paling anti memberi nomor hpny pada orang yang baru dikenal.

“Ini no hp ku” kata Ivan sambil mengeetik no hpnya di layar computer.

“Makasih ya kak” jawabnya.

Tidak lama dari percakapan itu, hp Ivan berdering, di layar hpnya muncul nomor yang tidak dikenalnya sama sekali. Dan ketika Ivan mencoba menjawab panggilan itu, telepon itu berhenti berdering dan menyisakan tanda missd call di hpnya.

Tiba-tiba di layar komputer Ivan tertulis pesan dari gadis bernama Clara yang baru dikenalnya tadi, “Tadi dah aku missed call, di save ya kak”. Ternyata nomor tadi adalah milik Clara.

“Oke, dah ku save ko” jawab Ivan.

“Kak Ivan kenal Ci Monic dimana?” tanya Clara tiba-tiba.

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Ivan bingung. Sebab Ivan kenal Monic di saluan chatting MIRC, itupun dengan perkenalan yang sebenarnya sedikit nyeleneh, karena berbau seks.

“Aku kenalan di chatting, abis itu ketemuan deh” Ivan mencoba menjawab pertanyaan Clara tanpa menjelaskan alasan perkenalannya.

“Cuma aku jarang ketemu sama Monic, biasanya dulu Cuma chatting sama smsan aja” jelas Ivan.

“Tapi beberapa bulan ini nomer hpnya Monic ga pernah aktif, trus YMnya juga ga pernah aktif, FSnya juga ga aktif. Emang dia kemana sih?” tanya Ivan.

“Ooo… Ci Monic sekarang ga ada di Jakarta lagi Kak, di dah pindah ke Australia. Soalnya dia dapet beasiswa disana. Ga tau tuh kenapa dia mau disana, padahalkan Ci Monic dah keterima di Ukrida”.

“Padahal kalo Ci Monic ada di Jakarta, aku kan bisa sering maen kesini, aku pengen sering ke luar kota, biar dapet temen baru” jelasnya.

“Pasti temennya Ci Monic disini banyak ya kak? Soalnya daftar temen-temennya di YMnya banyak Banget”.

“Wah aku ga tau kalo itu, soalnya aku kenal Monic cuma beberapa bulan aja” jawab Ivan

Dari percakapan itu, tiba-tiba Ivan teringat sesuatu, kalau tidak salah dulu di FS milik Ivan memang ada adiknya Monic, namanya juga hampir sama dengan anak ini. “Eh Clara, kamu punya FS ga?” tanya Ivan kepadanya.

“Aku ga punya FS kak, emang FS itu apa?”. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, membuat Ivan terkejut. Dalam benaknya, apa bener anak ini memang benar tidak punya FS atau pura-pura tidak tahu.

Ivan pun semakin penasaran “Masa sih ga punya, perasaan aku pernah liat profile kamu di FS deh” .

“Beneran kak, aku ga punya, mungkin Ci Monic yang bikin, soalnya dia kan banyak temennya”. Sanggahnya.

“Kalo kakak ga percaya, liat aja di foto ku kak” sambil merubah foto profil YMnya.

Tidak lama, foto profile YM Monic berubah, sesosok gadis cantik muncul menggantikan foto Monic.

Cantik sekali, itu yang pertama kali terbersit dalam pikiran Ivan, Matanya begitu unik, dengan kulit putih khas orang chinese. Poninya yang menutupi keningnya, serta balutan kaos warna pink yang ditutupi jaket biru cerah membuatnya terlihat begitu anggun di mataku. Ivan jatuh cinta pada pandangan petama pada anak ini.

Foto itu kemudian berubah lagi, kali ini Clara terlihat mengenakan kaos berwarna pink dengan angle foto yang diambil dari atas.

Ivan terdiam sejenak, menikmati kecantikkannya yang terasa alami dan lugu.

“Kak, ko diem?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Ivan dalam sekejap. “Jangan-jangan kakak lagi ngesave foto aku ya?” godanya. Aih sesuatu hal yang tidak terbersit selintaspun di benak Ivan.

“Ah ga apa apa” jawab Ivan gelagapan.

”Kakak dah liat foto ku kan?” tanyanya lagi.

“Iya udah, kamu cantik ya” Ivan mencoba memujinya.

“Masa sih kak?”,

“Beneran aku ga boong” Ivan berusaha meyakinkan Clara.

Setelah kalimat terakhir itu ia tidak menjawab, Ivan yang sedang penasaran dan telah tersihir kecantikannya jadi tidak sabar, akhirnya Ivan Buzz dia.

“Bentar ya kak, ada temennya Ci Monic yang nanya terus” jawab Clara, mungkin ia tahu kalau Ivan penasaran. Penasaran dengan kecantikannya yang terlihat unik, berbeda dengan kecantikan wanita lainnya yang sering Ivan lihat.

“Kak, kenal sama yang namanya…. ga?”, Clara menanyakan salah satu nama teman Monic yang ada di list YM.

Tentu saja Ivan tidak mengenalnya, “wah aku ga kenal, maaf ya”.

“Ooo ya udah ga apa-apa kalo kakak ga kenal, aku cuma mau tau aja koq” jawabnya.

“Aku iri deh sama Ci Monic, dia punya banyak temen, pasti seru” ujarnya, “kakak mau ga jadi temenku?” tanyanya lagi.

Ditanya seperti itu tentu saja Ivan langsung menjawab mau, toh tidak merasa rugi, selain karena dia cantik, sepertinya Clara tidak sombong seperti kebanyakan cewe yang merasa cantik lainnya. Cuma Ivan sedikit aneh, kenapa ia merasa enak punya banyak teman, bukannya Clara sendiri pasti punya teman.

Karena merasa tidak enak untuk menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi pada Clara, akhirnya Ivan memilih diam, walaupun sebenarnya dalam hatinya Ivan benar-benar penasaran. Pekerjaannya sebagai seorang wartawan membuat Ivan cepat taggap terhadap keanehan lawan bicaranya, sehingga ia gatal untuk bertanya.

Tetapi toh walaupun rasa penasarannya begitu besar, Ivan tetap tidak bertanya, karena ia beranggapan baru kenal dan mungkin dari perkenalan itu hanya sementara saja, tidak ada kelanjutannya seperti perkenalan di dunia maya lainnya.

“Kak, aku off dulu ya, mau makan”, lagi-lagi Clara mengagetkan Ivan dengan kalimatnya di YM.

”Oh ok ga apa-apa”. Jawab Ivan.

“Bye kak” pamitnya seraya YMnya mati.

Setelah percakapan yang tidak lama itu, Ivan kembali mengerjakan pekerjaannya yang diseling oleh chatting tadi.

Bersambung…

Senin, 18 Januari 2010

And the story begin...

Lahir dari rahim seorang ibu, saat itu juga manusia yang baru lahir telah mendapatkan takdirnya. Ia akan tumbuh besar layaknya mahluk hidup yang dipupuk untuk mencapai tujuan tertentu. Menuliskan warna-warni tinta dalam kertas putih kehidupannya

Selama hidupnya, setiap manusia akan menorehkan tinta, menulis, menggambar setiap momen yang dialaminya selama hidup di dunia.

Hangatnya masa balita yang selalu dilewati dalam dekapan hangat orang tua. Ramainya masa kanak-kanak yang dihiasi dengan pelajaran dan permainan dengan teman sebaya. Serunya masa remaja yang penuh dengan rasa penasaran dan hal baru yang ingin selalu dicoba. Perasaan berdebar ketika pertama kali merasakan cinta di hati. Indahnya persahabatan dan sedihnya pertentangan yang berujung pada pecahnya sebuah arti pertemanan. Betapa magisnya dunia perkuliahan sehingga dapat merubah mereka yang merasakan bagnku kuliah, dan kerasnya jalanan bagi mereka yang tak mampu bertahan.

Cerita terus berlanjut dengan tantangan pekerjaan yang selalui dipenuhi intrik, sehingga membangun karakter seseorang dalam mencapai tujuannya. Kerasnya kota, jatuh bangun mencari kesempatan untuk membuktikan diri kepada orang lain, bahwa ia yang tumbuh mampu berdiri dengan usahanya sendiri.

Manisnya cinta ketika ia menuju pelaminan dengan yang diharapkan. Rasa sedih ketika ditinggal yang tersayang, kematian, perceraian dan bencana. Serta rasa bangga ketika anak sebagai generasi penerus lahir ke dunia dan melanjutkan cita-cita orang tua.

Semuanya pasti dialami manusia yang hidup di bumi ini. Cerita-cerita itu membuat isi bumi tidak hanya hitam dan putih, melainkan penuh warna oleh cerita dan dongeng yang digambarkan setiap orang.

Pada akhirnya, setiap cerita pasti memiliki akhir, ajal menjemput. Namun ketika itu terjadi, apakah manusia itu mengakhiri ceritanya dengan senyum atau dengan tangis di wajahnya, dielukan atau dicemooh oleh sekitarnya. Hanya ia sebagai manusia yang memutuskan akhir ceritanya nanti.

Semuanya akan terus berulang hingga akhirnya tiba, dan cerita terus berjalan...